Wajib diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah
agama dan sumber hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu
amalan atau aturan yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam
kehidupan dunia dan akhirat melainkan telah dijelaskan di dalamnya.
Tidak pula ada satu amalan pun yang membahayakan kehidupan mereka
melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan dan dijauhi,
sebagaimana firman Allah l dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas.
Ayat ini mengandung berita tentang nikmat Allah l yang terbesar untuk
umat Islam, yaitu ketika Allah l menjadikan agama yang mereka yakini
sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh sehingga umat Islam
tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang telah
diturunkan oleh Allah l untuk mengatur kehidupan mereka. Syariat Islam
yang diturunkan oleh Allah l adalah syariat yang penuh dengan kebenaran
pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan
syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta
kepentingan tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Tidak ada satu pihak pun yang mampu menciptakan atau membuat aturan dan
perundangan-undangan selengkap, sesempurna, seadil, dan sejujur syariat
Islam yang diturunkan oleh Allah l. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
“Telah sempurnalah syariat Rabbmu (Al-Qur’an) sebagai syariat yang benar
dan adil. Tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah
syariat-syariat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (al-An’am: 115)
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sementara Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci” (al-An’am: 114)
Asy-Syaikh al-’Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di t berkata, “Maksudnya,
(Al-Qur’an berfungsi) sebagai penjelas tentang hukum halal dan haram,
serta berbagai hukum syariat. Demikian pula berbagai hukum agama ini,
baik yang bersifat pokok maupun cabang. Tidak ada satu syariat dan
hujjah pun yang lebih jelas dibandingkan dengannya. Tidak ada pula satu
hukum pun yang lebih baik serta lebih lurus dibandingkan dengannya
karena berbagai hukum dalam syariat Islam mengandung hikmah dan kasih
sayang.” (Lihat kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 270)
Begitu pula firman Allah l:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud z berkata, “Segala ilmu dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalam Al-Qur’an.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Penjelasan Abdullah bin Mas’ud di atas
bersifat lebih umum dan lebih universal, karena Al-Qur’an mencakup
segala bentuk
ilmu yang bermanfaat,
baik dalam bentuk berita tentang berbagai kejadian yang telah lalu
maupun ilmu tentang segala sesuatu yang akan datang. Al-Qur’an juga
mengandung penjelasan tentang seluruh hukum yang halal dan haram serta
penjelasan tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik
dalam urusan dunia maupun agama mereka.” (Tafsir Ibni Katsir)
Rasulullah n pun bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ
يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ
شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang diutus sebelumku melainkan
wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada segala kebaikan yang dia
ketahui untuk umat mereka. Wajib pula atasnya untuk memperingatkan
umatnya dari segala kejelekan yang dia ketahui yang dapat membahayakan
umatnya.” (HR. Muslim, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash c)
Dikatakan kepada sahabat Salman al-Farisi z:
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ؟
“Apakah benar bahwa Nabi kalian n telah mengajarkan segala sesuatu, sampai pun permasalahan buang hajat?”
Beliau z pun mengatakan:
أَجَلْ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ
بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ
بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ
بِعَظْمٍ
“Tentu. Sungguh Nabi kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika
buang air besar dan buang air kecil. Beliau juga melarang kami
beristinja’ dengan tangan kanan, melarang beristinja’ menggunakan batu
kurang dari tiga buah, dan melarang kami beristinja’ menggunakan kotoran
hewan atau tulang.” (HR. Muslim, dari sahabat Salman al-Farisi z)
Dari penjelasan singkat di atas, sudah barang tentu seorang muslim—yang
benar-benar mencintai Islam sebagai agamanya, berserah diri kepada Sang
Khaliq dan mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar,
sempurna, abadi dan diridhai oleh Allah—hanya akan berhukum dengan hukum
Islam dan tidak akan rela selain hukum Islam sebagai dasar hukum bagi
diri dan negaranya.
Mengamalkan Syariat Islam adalah Salah Satu Kewajiban Setiap Muslim yang Paling Mendasar
Syariat Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah l, Dzat Yang
Mahaadil, Mahabijak, Maha Mengetahui semua makhluk ciptaan-Nya dan
karakter mereka, serta Maha Mengetahui semua kepentingan dan kebutuhan
mereka yang banyak dan beragam, baik pada masa lampau, sekarang, maupun
yang akan datang, di bumi manapun mereka berada.
Oleh karena itu, hukum yang diturunkan oleh Allah l berbeda dengan
berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Manusia
adalah makhluk yang sangat lemah. Ia membuat hukum dalam rangka
melindungi kelemahannya. Ia juga sangat zalim sehingga dia membuat hukum
dalam rangka mengambil hak dan menzalimi orang lain. Ditambah lagi, ia
sangat jahil sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dan kemadaratan yang
hakiki untuk dirinya serta orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah l
menyebutkan beberapa sifat asli manusia, antara lain:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Karena itu, sudah barang tentu sikap dan kebijakan yang diambil oleh
manusia lebih didominasi oleh kebodohan dan kecenderungan untuk
menzalimi. Allah l juga berfirman:
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-’Alaq: 6—7)
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalianlah yang sangat butuh kepada
Allah, dan Dialah Allah yang Maha tidak butuh (kepada segala sesuatu)
lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28)
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa manusia itu sangat lemah, miskin,
dan sangat membutuhkan pertolongan Allah l dalam mengatasi kelemahan
dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah kelemahan mereka dalam menentukan
hukum yang mengatur kehidupan mereka. Maka dari itu, adalah suatu
kepastian bahwa mereka sangat membutuhkan hukum dan aturan hidup dari
Penciptanya Yang Maha Sempurna.
Dalam ayat lain, Allah l berfirman:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir,
apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij: 19—21)
Pada ayat di atas, dengan tegas Allah l menyebutkan bahwa manusia itu
tidak pernah puas. Ia cenderung mengeluh ketika tertimpa musibah atau
kekurangan. Di saat itu, dia akan meneriakkan kepentingannya. Namun, di
saat mendapatkan keberuntungan, dia akan kikir dan enggan menolong pihak
yang lemah. Dengan demikian, sudah tentu berbagai peraturan dan
perundang-undangan yang dibuatnya akan diwarnai oleh sifat-sifat asli
tersebut.
Manusia juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang sehingga berbagai hukum dan perundang-undangan yang dibuatnya
harus mengalami peninjauan ulang dan berbagai pembenahan.
Setelah kita mengetahui secara singkat sifat dasar dan karakter asli
manusia, seseorang yang berakal jernih dan beriman dengan sebenar-benar
iman tentu tidak akan pernah mau berhukum kepada hukum buatan manusia
yang maha kurang dan maha lemah, kemudian ia meninggalkan hukum yang
diturunkan oleh Allah l sebagai sumber hukum yang jauh dari segala
kekurangan. Allah l berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan seksama?
Sekiranya Al-Qur’an itu (turun) dari selain Allah, tentulah mereka akan
mendapati pertentangan yang banyak padanya.” (an-Nisa’: 82)
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum
dan syariat yang lengkap, sesuai, dan tidak ada pertentangan sedikit pun
antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lainnya. Adapun hukum-hukum
dan perundang-undangan yang dibuat oleh selain Allah l penuh dengan
kekurangan, ketidaksesuaian, dan pertentangan.
Apakah dengan itu, kita masih akan berhukum kepada perundang-undangan
buatan manusia, dan berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Rabb
semesta alam?
Allah l berfirman:
“Yaa siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu adalah
salah seorang dari rasul-rasul (yang diutus oleh Allah). (Yang berada)
di atas jalan yang lurus. (Sebagai syariat) yang diturunkan oleh (Allah)
Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (Yasin: 1—5)
“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (az-Zumar: 1)
“Haa miim. Diturunkan kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1—2)
“Haa Miim. Diturunkan dari Rabb yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Adalah sebuah kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya secara rinci.”
(Fushshilat: 1—3)
Dari beberapa penjelasan di atas, menjadi sebuah kepastian bagi setiap
pribadi muslim bahwa kewajiban beramal dan menegakkan syariat Islam,
baik pada kehidupan pribadi maupun rumah tangga, bahkan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, adalah salah satu pokok dasar Islam yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalil-dalil Penegas Kewajiban Menjadikan Hukum Allah l Sebagai Sumber Hukum
Agar kita semakin mengenal kedudukan syariat Islam serta kewajiban kita
sebagai pemeluknya untuk memuliakan syariat Islam dan mengamalkannya,
kali ini kami sajikan beberapa dalil syar’i yang menegaskan kewajiban
berhukum kepada syariat Islam bagi pemeluknya. Kami harap tulisan ini
semakin menggugah kemauan dan keinginan kita untuk menegakkannya pada
diri, masyarakat, dan negara kita. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai tolok
ukur kebenaran kitab-kitab sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka
menurut ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah l dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang
telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka,
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah
kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka,
dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang
lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(al-Maidah: 49—50)
Ayat-ayat di atas mengandung perintah tegas terhadap hamba-hamba Allah l
untuk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah l dan
mengamalkan syariat yang telah digariskan-Nya, sekaligus meninggalkan
hawa nafsu dan ambisi mayoritas manusia yang dapat memalingkan diri kita
dari upaya berhukum kepada hukum Allah l.
Seorang mukmin yang mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur
dengan saksama, dia akan mengetahui bahwasanya Allah l menekankan
kewajiban berhukum kepada syariat-Nya dengan beberapa bentuk penekanan.
Di antaranya adalah:
1. Kalimat perintah pada ayat:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan oleh Allah.” (al-Maidah: 49)
Kalimat perintah ini menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib hukumnya. Apabila ditinggalkan, pelakunya berdosa.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk berhukum kepada hukum yang diturunkan oleh Allah l banyak sekali, antara lain:
“Ikutilah syariat yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan
janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Sungguh sangat
sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata,
“Maksudnya, janganlah kalian keluar meninggalkan hukum-hukum yang dibawa
oleh Rasulullah n menuju sumber hukum yang lain. Dengan begitu, kalian
telah keluar dari hukum Allah l kepada hukum selainnya.” (Tafsir Ibnu
Katsir)
Allah l juga berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama ini), maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(al-Jatsiyah: 18)
2. Larangan Allah l menjadikan hawa nafsu mayoritas manusia serta
ambisi mereka dalam semua kondisi sebagai penghalang untuk kita berhukum
kepada hukum Allah.
Hal ini sebagaimana ayat ke-48 surat al-Maidah di atas:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.”
Kemudian pada ayat ke-49, kembali Allah l menegaskan:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain
hukum Allah l sengaja diulangi oleh Allah l dua kali karena sikap
tersebut memang sangat berbahaya dan banyak memalingkan kaum mukminin
dari berhukum dengan syariat Allah l kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat
Taisirul Karimirrahman)
3. Peringatan keras dari Allah l agar berhati-hati dari sikap enggan
berhukum kepada syariat-Nya, baik dalam urusan yang sedikit maupun
banyak, dalam perkara yang kecil maupun besar.
Hal ini sebagaimana firman-Nya:
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah
kepadamu.” (al-Maidah: 49)
4. Sikap tidak mau berhukum dengan hukum Allah l serta kecenderungan
menolaknya adalah dosa yang sangat besar, yang dapat mengundang azab
yang pedih.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ayat ke-49 surat al-Maidah di atas:
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah l juga mengancam:
“Maka hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi perintahnya
(syariat Rasulullah), akan menimpa kepada mereka fitnah atau azab yang
pedih.” (an-Nur: 63)
Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Yakni
orang-orang yang menyelisihi jalan, sistem, sunnah, dan syariat beliau
n. Maka dari itu, seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang
dengan perkataan dan perbuatan beliau. Segala sesuatu yang sesuai
dengannya, diterima. Adapun segala sesuatu yang menyelisihinya, ditolak,
siapapun pengucap dan pelakunya. Hal ini sebagaimana hadits sahih yang
diriwayatkan dalam ash-Shahihain dan selain keduanya, bahwasanya
Rasulullah n berkata:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan atas perintahku, amalan tersebut tertolak.”
Oleh sebab itu, hendaklah waspada dan takut orang-orang yang menyelisihi
syariat (hukum) Rasulullah n—baik penyelisihan secara batin maupun
secara zahir— bahwa mereka akan tertimpa fitnah. Kalbu-kalbu mereka
tertimpa fitnah kekufuran, kemunafikan, dan kebid’ahan, atau mereka aka
tertimpa azab yang pedih di dunia ini, baik dalam bentuk pembunuhan,
tindakan hukum pidana, atau penjara, dan yang semisalnya.” (Tafsir Ibnu
Katsir)
5. Per-ingatan keras dari Allah l untuk tidak terpesona dengan mayoritas manusia yang berpaling dari hukum Allah l.
Pada ayat ke-49 surat al-Maidah di atas, Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Mereka digolongkan oleh Allah l sebagai orang-orang yang fasik karena
enggan untuk berhukum dengan syariat dan perundang-undangan yang
diturunkan oleh Allah l.
Di zaman ini pun kita menyaksikan realitas yang disebutkan oleh Allah l
itu, yaitu kebanyakan manusia—bahkan kaum muslimin sendiri—baik sebagai
pribadi, masyarakat, ataupun pemerintah, enggan berhukum kepada syariat
Allah l. Maka dari itu, janganlah kita tertipu dengan jumlah mayoritas
sehingga kita ikut meninggalkan dan menanggalkan hukum Allah l.
Allah l juga menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
6. Allah l menjuluki berbagai hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah l sebagai hukum jahiliah.
Allah l berfirman:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (al-Maidah: 50)
Al-Imam Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t—ketika menjelaskan tentang
hukum jahiliah—berkata, “Yaitu semua jenis hukum yang menyelisihi
syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu,
tidak ada jenis hukum selain hukum Allah melainkan hukum jahiliah.
Barang siapa yang berpaling dari jenis yang pertama (hukum Allah), pasti
dia akan berhukum kepada jenis yang kedua (yaitu hukum jahiliah) yang
ditegakkan di atas kejahilan, kezaliman, dan kesesatan. Oleh karena itu,
Allah menisbatkan jenis hukum yang kedua ini sebagai hukum jahiliah,
sedangkan hukum Allah adalah hukum yang ditegakkan di atas ilmu,
keadilan, serta cahaya, dan petunjuk.” (Taisirul Karimirrahman)
7. Penegasan Allah l bahwa hukum yang diturunkan-Nya adalah hukum
yang terbaik dan perundang-undangan yang paling adil serta paling
sempurna.
Hal ini sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :
“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah.”
Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di
muka bumi ini yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan
hukum yang diturunkan Allah l. Jika demikian, sungguh tidak pantas
apabila hamba-hamba Allah l yang mengklaim dirinya beriman kepada-Nya
tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah l dan Rasul-Nya n sebagai
rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya. Tentu dia tidak
akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber hukum
yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.
8. Seorang mukmin yang memiliki sifat yakin atas kebenaran Allah l
dan Islam sebagai agama pasti akan mengetahui dan meyakini bahwasanya
hukum perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah l adalah hukum yang
paling sempurna dan adil serta abadi. Bersamaan dengan itu, ia akan
meyakini bahwa sikap tunduk dan patuh, rela dan berserah diri kepada
hukum Allah l adalah suatu kewajiban yang pasti atas setiap muslim yang
tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Hal ini karena pada akhir ayat ke-50 surat al-Maidah di atas, Allah l menyatakan:
“Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Maksudnya, seseorang yang telah memiliki keyakinan sebenar-benarnya atas
syariat Islam, pasti akan meyakini bahwa tidak ada hukum yang lebih
baik, sempurna, dan adil dibandingkan dengan hukum Allah. Sebaliknya,
orang yang masih meyakini adanya hukum buatan manusia yang lebih baik
atau setara dengan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah l kepada
Nabi-Nya, sungguh dia tergolong orang yang kalbunya memiliki penyakit
keraguan terhadap kebenaran Islam itu sendiri sebagai agama.
Oleh sebab itu, Allah l mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh
hamba-Nya untuk berhukum kepada hukum dan syariat yang diturunkan-Nya,
dan melarang mereka untuk berhukum kepada hukum dan perundang-undangan
buatan manusia. Bahkan, Allah l menekankan dan menegaskan perintah
tersebut dengan berbagai bentuk penegasan selain yang telah kami
sebutkan di atas, antara lain:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada hukum yang diturunkan kepadamu dan kepada hukum yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut tersebut, dan sesungguhnya
syaithan sangat berambisi menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 60)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t mendefinisikan thaghut dengan, “Semua
pihak yang berhukum kepada selain syariat Allah l, itu adalah thaghut.”
Al-Imam Ibnu Katsir t ketika menjelaskan tentang ayat ini berkata, “Ini
adalah pengingkaran Allah l terhadap pihak-pihak yang mengklaim keimanan
terhadap syariat yang diturunkan oleh Allah l kepada Rasul-Nya dan para
nabi terdahulu, namun bersama itu dia masih berkeinginan untuk berhukum
kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam menyelesaikan
berbagai perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas adalah jangan sampai
kita menjadi orang-orang yang mengklaim keimanan kepada syariat Allah l
dan Rasul-Nya, namun dia masih berhukum kepada hukum-hukum jahiliah,
baik hukum adat, hukum pidana dan perdata, maupun yang lainnya. Masih
saja kita mengedepankan logika dan hawa nafsu untuk menjadikan hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia sebagai tandingan bagi
hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sungguh dengan itu, kita akan tergolong ke
dalam orang-orang yang disesatkan oleh setan dengan kesesatan yang
sejauh-jauhnya.
Perhatikan dengan saksama ayat-ayat berikut ini dan mohonlah petunjuk kepada Allah l untuk bisa mengamalkannya.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap keputusan hukum yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dalam ayat di atas:
1. Allah l memulai perkataan-Nya dengan sumpah atas nama Dzat-Nya Yang
Mahamulia. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan disebutkan-Nya
adalah permasalahan besar.
2. Allah l meniadakan keimanan seorang hamba kalau dia tidak mau berhukum kepada hukum Rasulullah n dalam semua urusannya.
3. Allah l tidak menerima sikap tunduk kepada hukum Rasulullah n secara
zahir saja. Bahkan, Allah l menuntut kepada hamba tersebut untuk
menerimanya secara batin dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.
Demikian pula firman Allah l:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, masih akan ada bagi mereka pilihan hukum (yang lain)
tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai (hukum) Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
(al-Ahzab: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini bersifat umum meliputi semua
urusan, yaitu jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah hukum,
tak seorang pun yang boleh menyelisihinya. Tidak pula ada pilihan apapun
baginya (selain hukum Allah). Tidak ada juga logika atau pendapat (lain
yang boleh diikuti).” (Tafsir Ibnu Katsir)
Untuk memperjelas beberapa keterangan di atas, berikut ini kita akan
mengikuti dengan saksama fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, salah
seorang ulama besar umat ini yang mengikuti jejak generasi as-salafush
shalih.
Dalam fatwanya beliau t berkata, “Wajib atas seluruh kaum muslimin untuk
berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad, dalam semua
urusan, dan agar mereka tidak berhukum kepada berbagai ketetapan adat
istiadat dan ketentuan-ketentuan suku (kabilah). Tidak pula kepada
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Allah l berfirman:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah)
kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku,
kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”
(asy-Syura: 10)
Kemudian beliau juga menyebutkan ayat ke-60 dalam surat an-Nisa’ di atas.
Beliau melanjutkan, “Allah l juga berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Berdasarkan hal itu, wajib atas setiap muslim untuk tunduk dan patuh
kepada hukum Allah l dan Rasul-Nya n serta tidak mengedepankan selain
hukum Allah l dan Rasul-Nya. Sebagaimana seluruh peribadatan hanya milik
Allah l satu-satunya, demikian pula berhukum, wajib hanya kepada hukum
Allah l satu-satunya. Ini sebagaimana firman l Allah:
“Tidaklah (hak penentuan) hukum kecuali hanya milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dengan demikian, berhukum kepada selain Kitabullah dan selain Sunnah
Rasulullah n termasuk jenis kemungkaran yang terbesar dan kemaksiatan
yang terjelek. Bahkan, seseorang yang berhukum kepada selain Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya n bisa menjadi kafir jika ia meyakini perbuatan
berhukum kepada selain hukum Allah adalah halal (boleh), atau ia
meyakini bahwasanya hukum selain hukum Allah l dan Rasul-Nya n adalah
lebih baik. Allah l berfirman (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65
surat an-Nisa’1).
Maka dari itu, tidak ada iman bagi siapa saja yang tidak berhukum kepada
Allah l dan Rasul-Nya, baik dalam berbagai permasalahan pokok dalam
agama ini maupun permasalahan cabang dan dalam berbagai jenis hak.
Dengan demikian, barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah l
dan Rasul-Nya n sungguh dia telah berhukum kepada thaghut.” (Majmu’
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh Abdil ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz, 8/272)
Pada kesempatan lain, ketika beliau ditanya tentang hadits:
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوًةً، فَكُلَّمَا
انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا،
فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Sungguh pasti akan terlepas tali-tali pengikat Islam, ikatan demi
ikatan. Pada saat terlepas satu ikatan, manusia pun bersegera untuk
berpegang dengan ikatan yang berikutnya. Tali ikatan yang pertama kali
terlepas adalah hukum, dan yang paling terakhir adalah shalat.”2
Beliau t berkata, “Makna hadits ini sangatlah jelas, yaitu tentang sikap
tidak berhukum pada syariat Allah l. Inilah realitas masa kini yang
terjadi pada mayoritas negara yang menisbatkan dirinya kepada Islam.
Sudah menjadi suatu hal yang telah diketahui bahwasanya wajib atas semua
pihak untuk berhukum kepada syariat Allah l pada semua urusan.
Hendaknya setiap pribadi juga waspada dari sikap berhukum kepada
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia atau hukum-hukum adat yang
menyelisihi syariat yang suci ini, dengan dalil firman Allah l (kemudian
beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’3 dan ayat ke-49 serta
ke-50 surat al-Maidah4).”
Kemudian beliau melanjutkan, “Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut:
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang
diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(al-Maidah: 44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang
diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
(al-Maidah: 45)
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut hukum syariat yang
diturunkan oleh Allah l, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
(al-Maidah: 47)
Para ulama pun telah menjelaskan tentang kewajiban atas seluruh
pemerintah kaum muslimin untuk berhukum kepada syariat Allah l dalam
semua urusan kaum muslimin dan semua masalah yang mereka perselisihkan
dalam rangka mengamalkan ayat-ayat yang mulia di atas.
Para ulama tersebut juga menjelaskan bahwa seorang hakim yang memutuskan
hukum dengan selain syariat yang diturunkan oleh Allah l, ia telah
kafir dengan bentuk kekufuran yang mengeluarkannya dari agama Islam,
jika ia meyakini bahwa perbuatan itu halal (boleh). Namun, apabila ia
tidak meyakini hal itu sebagai perbuatan yang halal, dan ia berhukum
kepada selain syariat Allah l hanya sebatas disebabkan oleh adanya suap
atau kepentingan tertentu lainnya, ia juga tetap beriman bahwa berhukum
kepada selain syariat Allah l adalah tidak boleh dan bahwa berhukum
kepada syariat Allah l adalah wajib, dalam kondisi seperti ini dia
menjadi kafir dengan jenis kufran ashghar (kekafiran kecil)5 dan menjadi
zalim dengan jenis zhulman ashghar (kezaliman kecil) dan menjadi fasik
dengan jenis fisqan ashghar (kefasikan kecil).
Kami memohon kepada Allah l agar memberikan bimbingan kepada seluruh
pemerintah muslimin untuk mau berhukum kepada syariat-Nya dan
mengembalikan seluruh keputusan hukum kepada-Nya, sekaligus mengharuskan
kepada masyarakatnya untuk berhukum kepada syariat Allah, dan agar
mereka waspada dari sikap menyelisihi hukum Allah. (Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz 9/205)