(“Assalamu ‘alaikum”)
“Janganlah seorang wanita pergi kecuali dengan mahramnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hendaknya memahami benar konteks larangan hadits ini. Sebab (‘Illat)
larangan hadits ini adalah karena jika wanita pergi sendirian tanpa
suami atau mahram pada zaman unta dan keledai menempuh gurun atau
jalan-jalan sepi dikhawatirkan terjadi sesuatu atasnya atau melahirkan
fitnah baginya.
Jika kondisi zaman telah berubah seperti zaman ini, di mana perjalanan
sudah menggunakan kapal, pesawat, bis, yang penumpangnya puluhan bahkan
ratusan. Kondisi ini tentu amat sulit bagi seseorang untuk berbuat
senonoh dan melecehkan wanita, karena di depan banyak manusia. Maka, tak
mengapa ia pergi sendiri dengan syarat memang keamanan telah terjamin.
Bahkan, hal ini diperkuat oleh beberapa hadits berikut.
Hadits Pertama
Dari Adi bin Hatim, secara marfu’: “Hampir datang masanya wanita naik
sekedup seorang diri tanpa bersama suaminya dari Hirah menuju
Baitullah.” (HR. Bukhari)
Hadits ini merupakan pujian atas kejayaan Islam pada masa yang akan
datang, sehingga keadaan sangat aman bagi wanita untuk bepergian jauh
seorang diri. Hadits inilah yang dijadikan Imam Ibnu Hazm membolehkan
wanita untuk keluar seorang diri tanpa mahram. Maka janganlah kita heran
justru banyak ulama yang membolehkan wanita pergi seorang diri jika
dalam keadaan aman dan jauh dari fitnah.
Hadits Kedua
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah dan Ummahatul Mukminin lainnya,
pergi haji pada zaman khalifah Umar Al Faruq tanpa mahram yang
mendampinginya, justru ditemani oleh Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin
Affan. Dan tak satu pun sahabat lain yang menentangnya, sehingga
kebolehannya ini dianggap sebagai ijma’ sahabat. (Fathul Bari, 4/445)
Sebagian ulama membolehkan seorang wanita bepergian ditemani oleh
wanita lain yang tsiqah. Imam Abu Ishaq Asy Syairazi dalam kitab Al
Muhadzdzab, membenarkan pendapat bolehnya seorang wanita bepergian
(haji) sendiri tanpa mahram jika keadaan telah aman.
Sebagian ulama madzhab Syafi’i membolehkannya pada semua jenis bepergian, bukan cuma haji. (Fathul Bari, 4/446. Al Halabi)
Ini juga pendapat pilihan Imam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Ibnu Muflih dalam kitab Al Furu’, dia berkata:
“Setiap wanita yang aman dalam perjalanan, bisa (boleh) menunaikan haji
tanpa mahram. Ini juga berlaku untuk perjalanan yang ditujukan untuk
kebaikan.” Al Karabisi menukil bahwa Imam Syafi’i membolehkan pula dalam
haji tathawwu’ (sunnah). Sebagian sahabatnya berkata bahwa hal ini
dibolehkan dilakukan dalam haji tathawwu’ dan semua jenis perjalanan
tidak wajib seperti ziarah dan berdagang. (Al Furu’, 2/236-237)
Al Atsram mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hambal: “Adanya mahram
tidaklah menjadi syarat dalam haji wajib bagi wanita. Dia beralasan
dengan mengatakan bahwa wanita itu keluar dengan banyak wanita dan
dengan manusia yang dia sendiri merasa aman di tengah-tengah mereka.”
Imam Muhammad bin Sirin mengatakan, “Bahkan dengan seorang muslim (pria-red) pun tidak apa-apa.”
Imam Al Auza’i mengatakan, “Bisa dilakukan dengan kaum yang adil dan terpercaya.”
Imam Malik mengatakan, “Boleh dilakukan dengan sekelompok wanita.”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Bisa dilakukan dengan seorang wanita
merdeka yang terpercaya.” Sebagian sahabatnya berkata, “Hal itu
dibolehkan dilakukan sendirian selama dia merasa aman.” (Al Furu’,
3/235-236)
Ini juga pendapat Imam Ibnul Arabi dalam kitab ‘Aridhah Al Ahwadzi
bi Syarh Shahih At Tirmidzi. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam
kutipan Al Karabisi disebutkan bahwa perjalanan sendirian bisa dilakukan
sepanjang jalan yang akan ditempuhnya dalam kondisi aman. Jika
perjalanan ini diterapkan dalam perjalanan haji dan umrah maka sudah
sewajarnya jika hal itu pun diterapkan pada semua jenis perjalanan
sebagaimana hal itu dikatakan oleh sebagian ulama.” (Fathul Bari, 4/445)
Sebab, maksud ditemaninya wanita itu oleh mahram atau suaminya adalah
dalam rangka menjaganya. Dan ini semua sudah terealisir dengan amannya
jalan atau adanya orang-orang terpercaya yang menemaninya baik dari
kalangan wanita atau laki-laki, dan dalil-dalil sudah menunjukkan hal
itu.
Lucunya, pihak yang amat keras melarang para muslimah bepergian seorang
diri walau pun menuntut ilmu dan daurah yang cuma sehari dua hari,
mereka malah mendirikan pesanten (ma’had) khusus wanita seperti yang
kita lihat dalam brosur atau iklan dalam majalah mereka. Padahal kita
tahu, di pesantren waktunya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, mereka
para santriwati ini pun tidak ditemani oleh suami atau mahramnya ketika
mondok. Lalu, kenapa hal itu boleh padahal berbulan-bulan lamanya,
sementara para akhwat yang melaksanakan daurah cuma sehari dua hari
justru mereka larang? Ajaib memang!
Ketahuilah, masalah ini adalah perkara muamalat, yang larangannya bisa
diketahui karena adanya ‘illat (sebab) dan maksud. Dalam konteks ini,
‘illat-nya adalah karena faktor bahaya. Ketika ‘illat itu tidak ada,
maka larangan itu pun teranulir. Berbeda dengan masalah ibadah khusus
(ta’abudiyah), yang dalam menjalankannya seorang muslim harus tunduk
tanpa melihat pada sebab atau maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam
Asy Syathibi.
Catatan:
Perlu diketahui bahwa, para muhaqqiqun seperti yang diisyaratkan oleh
Imam Ibnul Mundzir dan Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa seseorang
terus dikatakan musafir walau dia berniat menetap sementara selama
beberapa tahun, selama dia belum menjadi penduduk permanen di tempat
tersebut.
Oleh karena itu, sebagian sahabat ada yang mengqashar shalat selama,
enam bulan, setahun, bahkan dua tahun. Dan kita pun tahu para akhwat itu
suatu saat akan pulang, sesuai lamanya belajar, atau pulang karena masa
liburan. Ada yang pulang setelah enam bulan, atau satu tahun, dan
tergantung keadaan mereka.
Maka, walau para akhwat berniat mondok selama sesuai hajatnya disana,
maka itu tidak merubah status mereka sebagai musafirah sebagaimana yang
dikatakan para muhaqqiqun. Syaikh Utsaimin juga berpendapat demikian,
sehingga beliau membolehkan shalat jama’ bagi pelajar di luar negeri
hingga 3 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar